Kamis, 24 Februari 2011

Menjadi Manusia Pembelajar

 Oleh : Abu Mumtaz“…. Katakanlah (hai Muhammad): “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”  (Az-Zumar:9)

Mengapa Islam begitu mementingkan ilmu dan memuliakan orang-orang yang belajar? Karena kebodohan dalam Islam adalah kebutaan, kegelapan, kematian dan selalu berujung kepada kemusyrikan yang akan membawa pada penderitaan dan kemalangan yang abadi.

"Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas, Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar."  (Fathir:19-22)

"...Katakanlah (hai Muhammad): “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)

Allah swt menggambarkan bahwa tidak sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu (bodoh) seperti bedanya antara orang buta dan melihat, orang hidup dan mati, teduh dan panas, gelap dan terang. Artinya Allah menyuruh manusia untuk menjadi manusia yang berilmu, dan hal itu tidak akan bisa di capai kecuali oleh manusia yang selalu belajar.

Carilah ilmu mulai dari buaian kasih bunda hingga kita dikuburkan (utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi), setiap muslim harus menghadirkan ilmu dalam hidupnya sehingga tidak terjebak dalam kebodohan dan menjadi manusia yang bodoh, mulai dari seseorang itu dilahirkan hingga ia wafat.

Kebodohan merupakan kerusakan terbesar dan musuh yang paling berbahaya. Sebab kebodohan merupakan sebab utama tergelincirnya manusia dari jalan yang benar, sumber dan penyebab utama kejahatan. Nama lain kebodohan adalah jahiliyyah, dan ujung akhirnya dari kebidihan adalah kemusyrikan

Suatu hari Nabi saw ditanya tentang orang yang bodoh. Beliau menjawab:
1. Orang yang bodoh dapat menyusahkanmu jika engkau bergaul dengannya,
2. ia bisa menyalahkanmu bila engkau tidak membantunya,
3. ia juga dapat mengungkit-ungkit sesuatu yang pernah ia berikan kepadamu,
4. ia tidak berterima kasih jika engkau memberinya,
5.jika engkau mempercayakan rahasia-rahasiamu kepadanya, ia akan menyalah gunakan kepercayaanmu.

Dari jawaban Nabi saw di atas terlihat bahwa orang yang bodoh tidak mempunyai nilai positif sama sekali. Itulah sebabnya kita harus lari dari kebodohan dan orang-orang yang bodoh. Lari dari kebodohan berarti kita harus menjadi orang yang mencari ilmu, menjadi manusia pembelajar, belajar dan terus belajar. Lari dari orang bodoh yaitu orang yang puas dengan ilmunya yang ada, atau orang yang malas belajar. Saat kita merasa puas dengan ilmu kita yang telah ada, berarti saat itu kita telah menjadi orang yang bodoh.

"Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya."  (Ali Imran:79)

Allah memerintahkan kita untuk menjadi generasi Robbani, yaitu generasi yang terus mengajarkan ilmu dan mereka terus belajar. Disini Allah memerintahkan kita terjun dalam proses tarbiyah, yaitu proses belajar mengajar dimana ada murobbi yang menyampaikan ilmu dan ada mutarobbi yang menerima ilmu, dan hal ini terus berkesinambungan sampai azal menjemput kita.

Nabi Ibrahim as adalah teladan yang memahami pentingnya proses tarbiyah. Tatkala Allah swt memerintahkan beliau untuk menyembelih anaknya, maka Nabi Ibrahim as terlebih dahulu memanggil sang anak untuk berdialog. Hal ini diabadikan oleh Al Qur’an:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”."  (As-Shaffat:102)

Ungkapan Nabi Ibrahim as, ”….Fandzur ma tara (fikirkanlah apa pendapatmu)”, menurut tafsir Ibnu Katsir menunjukkan kebijaksanaan sang ayah dalam menguji anaknya. Kita tahu ujian selalu melalui tahap pembelajaran, tidak serta merta diberikan. Itu berarti Nabi Ibrahim as sebelumnya telah menanamkan pentingnya ilmu bagi keluarganya, Nabi Ibrahim as telah memberikan tarbiyah kepada anaknya, Ismail as sehingga sang anak faham bahwa itu adalah perintah dari Allah. Dengan kata lain mereka telah menelaah maksud dari sebuah perintah. Ayat tersebut menggambarkan sebuah keluarga yang terus belajar dan haus ilmu.

Oleh karena itu, harus ada majelis-majelis ilmu di sekitar kita, ada dialog, diskusi dan tausiyah ilmiah. Seorang murobbi harus bisa menjadi tempat bertanya bagi mad’unya, menjadi tauladan, menekuni ilmu dan haus akan pengetahuan. Seorang ayah harus bisa menjadi teman belajar kepada anak-anaknya, dan membimbing anak-anaknya dalam memahami ilmu.

Hadirkan buku-buku dan literatur di rumah kita, perbanyak semua sarana dan fasilitas untuk meningkatkan ilmu. Kita harus menjadi manusia pembelajar yang tidak pernah puas dengan ilmu yang didapat. Terus belajar dan belajar.

Rasulullah saw memberi motivasi kepada kita,
”Barang siapa menempuh suatu jalan di mana ia menuntut ilmu di dalamnya, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidak akan berkumpul suatu kaum dalam rumah dari beberapa rumah Allah, dimana mereka membaca kitab dan mempelajari di antara mereka, melainkan para malaikat akan menaungi mereka dan turunlah kepada mereka ketentraman, dan rahmat meliputi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka sebagai orang yang berada di sisi-Nya.”   (HR. Muslim)

Wallahu A’lam...

Sumber : http://almudarris.wordpress.com/2009/06/17/menjadi-manusia-pembelajar/


Tiga Landasan Ilmu

Oleh : Abu Mumtaz

“Demi masa. Sesungguhnya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shalih dan saling nasihat menasihati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasihat-menasihati untuk (berlaku) sabar”.  (Al-’Ashr : 1-3).


Akhi (Saudaraku). Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Sebagai seorang muslim kita tidak hanya dituntut meyakini dan mengamalkan kebenaran aqidah Islam, tetapi di sisi lain harus berani mengingkari dan menolak keberadaan aqidah-aqidah selain Islam. Sedangkan definisi ‘aqidah Islam adalah segala sesuatu yang datangnya dari Allah dan diperagakan oleh Rasulullah Saw, maka dari itu Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk berilmu (agama)….  sebelum melakukan ucapan dan perbuatan. Dan ilmu yang wajib untuk diketahui adalah :

MENGENAL ALLAH, ‘AZZA WA JALLA
Apabila anda ditanya : Siapakah Tuhanmu ? Maka katakanlah : Tuhanku adalah Allah, yang memelihara diriku dan memelihara semesta alam ini dengan segala ni’mat yang dikurniakan-Nya. Dan dialah sembahanku, tiada sesembahan yang haq selain Dia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Artinya :
“Segala puji hanya milik Allah Tuhan Pemelihara semesta alam”. (Al-Faatihah : 1).

Semua yang ada selain Allah disebut Alam, dan aku (penulis) adalah salah satu dari semesta alam ini.
Selanjutnya jika anda ditanya : Melalui apa anda mengenal Tuhan ? Maka hendaklah anda jawab : Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah : malam, siang, matahari dan bulan. Sedang di antara ciptaan-Nya ialah : tujuh langit dan tujuh bumi beserta segala mahluk yang ada di langit dan di bumi serta yang ada di antara keduanya.

Firman Allah Ta’ala. Artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah” (Fushshilat : 37).

Tuhan inilah yang haq disembah. Dalilnya, firman Allah Ta’ala :
“Wahai manusia ! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”. (Al-Baqarah : 22).

Ibnu Katsir Rahimahullah, mengatakan :
”Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah”. (Maktabah Dar At-Turats)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (Al-Jinn : 18).

Karena itu barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka dia adalah musyrik dan kafir. Firman Allah Ta’ala : Artinya :
“Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka benar-benar balasannya ada pada tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang kafir itu”. (Al-Mu’minuun :117).

MENGENAL ISLAM
Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing mempunyai rukun-rukunnya.

Hadits yang masyhur, yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
“Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuhnya tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menyandarkan kelututnya pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau, dan berkata : ‘Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam’, maka beliau menjawab :’Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah serta Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana’. Lelaki itu pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kata Umar:’Kami merasa heran kepadanya, ia bertanya kepada beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata : ‘Beritahulah aku tentang Iman’.Beliau menjawab :’Yaitu : Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk’. Ia pun berkata : ‘Benarlah engkau’.Kemudian ia berkata : ‘Beritahullah aku tentang Ihsan’. Beliau menjawab :Yaitu : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamumelihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu’. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab : ‘Orang yang ditanya tentang hal tersebut tidak lebih tahu dari pada orang yang bertanya’. AKhirnya ia berkata :’Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu’. Beliau menjawab : Yaitu : ‘Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun bangunan yang tinggi’. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu, semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi bertanya : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ? Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun bersabda : ‘Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian”. (HR. Muslim)

MENGENAL NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdullah, bin ‘Abdul Muthallib, bin Hasyim. Hasyim adalah termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa Arab, sedang bangsa Arab adalah termasuk keturunan Nabi Isma’il, putera Nabi Ibrahim as. Semoga Allah melimpahkan kepadanya dan kepada Nabi kita sebaik-baik shalawat dan salam.

Beliau berumur 63 tahun, diantaranya 40 tahun sebelum beliau menjadi nabi dan 23 tahun sebagai nabi dan rasul.
Beliau diutus Allah untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid. Dalilnya, firman Allah Ta’ala. Artinya :
“Wahai orang yang berselimut ! Bangunlah, lalu sampaikanlah peringatan. Agungkanlah Tuhanmu. Sucikalah pakaianmu. Tinggalkanlah berhala-berhala itu. Dan janganlah kamu memberi, sedang kamu menginginkan balasan yang lebih banyak. Serta bersabarlah untuk memenuhi perintah Tuhanmu”. (Al-Mudatstsir : 1-7).

Pengertian : “Sampaikanlah peringatan”, ialah menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.“Agungkanlah Tuhanmu”. Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan beribadah kepada-Nya semata-mata.“Sucikanlah pakaianmu”, maksudnya ; Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan syirik. “Tinggalkanlah berhala-berhala itu”, artinya : Jauhkan dan bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.

Beliaupun melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu beliau di mi’rajkan (diangkat naik) ke atas langit dan disyari’atkan kepada beliau shalat lima waktu. Beliau melakukan shalat di Makkah selama tiga tahun. Kemudian, sesudah itu, beliau diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah, pengertiannya, ialah : Pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islami.
Hijrah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam. Dan kewajiban tersebut hukumnya tetap berlaku sampai hari kiamat. Dalil yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu firman Allah Ta’ala.
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan zhalim terhadap diri mereka sendiri , kepada mereka malaikat bertanya :’Dalam keadaan bagaimana kamu ini .? ‘Mereka menjawab :Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah). Para malaikat berkata : ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (kemana saja) di bumi ini ?. Maka mereka itulah tempat tinggalnya neraka Jahannam dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk empat kembali. Akan tetapi orang-orang yang tertindas di antara mereka, seperti kaum lelaki dan wanita serta anak-anak yang mereka itu dalam keadaan tidak mampu menyelamatkan diri dan tidak mengetahui jalan(untuk hijrah), maka mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah adalah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun”. (An-Nisaa : 97-99).

Adapun Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Hijrah tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum ditutup, sedang pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari barat”. (HR Ahmad).

Setelah Nabi Muhammad menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji, adzan, jihad, amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta syariat-syariat Islam lainnya.

Beliau-pun melaksanakan untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun. Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam keadaan lestari.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia, dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk mentaatinya. Allah Ta’ala berfirman.
“Katakanlah. ‘Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua”. (Al-Araaf : 158).
Dan melalui beliau, Allah telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita, firman Allah Ta’ala. “..Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku lengkapkan kepadamu ni’mat-Ku serta Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu”. (Al-Maaidah : 3).

Hanya Allah-lah Yang Mahatahu. Semoga shalawat dan salam sentiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad kepada keluarga dan para sahabatnya.

Sumber : http://almudarris.wordpress.com/2009/10/21/tiga-landasan-ilmu-2/


Etika Menuntut Ilmu

Dewasa ini (saat kita melihat gerakan yang menggembirakan untuk kembali kepada agama Allah Swt) kita masih mendapati keberpalingan mayoritas pelajar dari mengikuti etika-etika salafusshalih dalam menuntut ‘ilmu.

Sepenggal kalimat di atas adalah ungkapan Dr. Anas Ahmad Karzun dalam kitabnya ‘Adabu Thalibil ‘ilmi beliau mengungkapkan keprihatinan terhadap dunia pendidikan dewasa ini, dengan mengatakan:  
“Kita masih memperhatikan adanya kompetisi untuk meraih ijazah dan gelar akademi demi mendapatkan kedudukan sosial di tengah-tengah manusia sebagai upaya untuk mendapatkan pekerjaan yang berkisar pada harta benda.”

Masih dalam kitab yang sama, beliau mengatakan:
“Tidak diragukan lagi musuh-musuh Islam telah merancang program untuk menjauhkan para pemuda Islam dari ‘ilmu yang bermanfaat, khususnya ‘ilmu syar’i yang menjadi nafas bagi umat, kesadaran, dan kebangkiatnnya. Mereka menyibukkan waktu-waktu para pemuda dengan berbagai kegiatan yang tidak bermanfaat. Tidak ada sesuatu yang lebih membuat mereka gerah selain ketika mereka melihat generasi Islam antusias untuk menuntut ilmu dan menghiasi diri dengan etika pencari ilmu.”

Maka seharusnya kita membakar semangat kita untuk menuntut ilmu, sebagai bekal dalam perjuangan. Sungguh ironis rasanya kita mengaku sebagai pejuang Islam, tapi tidak memiliki ghirah (Baca: gairah) untuk mengkaji warisan para ‘ulama.

Al-Mawardi berkata:  
“Ilmu adalah pengganti setiap kelezatan dan pemuas dari setiap syahwat. Barangsiapa yang menyendiri dengan ilmu, niscaya ia tidak akan kesepian. Barangsiapa yang berhibur dengan kitab, niscaya ia tidak akan kehilangan kenyamanan. Tidak ada kawan yang seakrab ilmu. Dan tidak ada penolong yang seperti sikap santun.”

Dalam proses menuntut ilmu ada beberapa hal yang harus kita perhatikan:
Pertama: Himmah ‘Iliyah dan Niyyah Shahihah
Motivasi yang kuat pada diri, akan membuat sesuatu yang berat terasa ringan, yang sulit terasa mudah, jauhnya jarak akan terasa dekat, dan lamanya waktu akan terasa singkat. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata,
“Cita-cita yang tinggi hanya bisa diraih dengan himmah ‘aliyah (motivasi yang tinggi) dan niyyah shahihah (niat yan benar).”

Maka jika ingin sukses, nyalakan semangat dan luruskan niat. Janganlah usia menghalangi keinginan baik kita, jangan pula sulitnya memahami menghantui langkah kita untuk maju. Dengan himmah ‘aliyah, ilmu bisa diraih, amal usaha akan terwujud. Karena himmah ‘aliyah adalah ibu dari dua saudara kembar bernama ilmu dan amal. Seperti dikatakan oleh Ibnul Jauzi:
“Ilmu dan amal adalah saudara kembar, ibu dari keduanya adalah himmah ‘aliyah”

Perkara selanjutnya yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu ialah niyyah shahihah. Niyyah shahihah dalah niat yang semata-mata ditujukan untuk menggapai ridha Allah Swt.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Seorang laki-laki Arab dusun mendatangi Nabi Saw, lalu ia berkata” “Wahai Rasulullah! Ada orang berperang untuk mendapatkan harta rampasan. Adapula supaya dia terkenal sebagai pahlawan. Dan adapula supaya kedudukannya di hormati. Siapakah yang sebenarnya yang berperang fi sabilillah?” Rasulullah Saw menjawab: “Barangsiapa berperang agar kalimatullah menjadi tinggi maka dia itu fi sabilillah”  (HR. Muslim)

Dalam aktifias amal (termasuk dalam meunutut ilmu) akan ada saja berbagai motivasi yang berbeda antara satu pribadi dengan pribadi lain. Hanya saja berbagai motivasi dan kepentingan yang kita bawa haruslah dalam bingkai perjuangan yang shahih dan untuk kemaslahatan jama’ah. Jika dalam amal perjuangan kita cenderung memiliki kepentingan pribadi yang lebih dominan, maka kita harus segera mawas diri jangan-jangan kadar keihklasan kita mulai menyusut dan amal kita dalam posisi yang mengkhawatirkan untuk diterima Allah.

Maka tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali memformat setiap amal kita agar ikhlas semata-mata untuk Allah. Ikhlas artinya memurnikan perkataan, perbuatan dan jihad hanya kepada Allah dan mengharap keridhaan-Nya semata. Semua yang dilakukan, tanpa memperhatikan keuntungan materi, pangkat, gelar, popularitas, atau ambisi terselebung lainnya.
Sementara kita saksikan dewasa ini banyak kita dapati di beberapa halaqah ada sekelompok ikhwah yang mengkaji ilmu semata-mata untuk memperbanyak perbendaharaan ilmu mereka bagaikan cadangan peluru yang siap ditembakkan dari senapan-nya saat berdebat dan berbantahan.

Dari Ali ra, ia berkata,  
“Wahai para pembawa ilmu, beramallah dengan ilmu kalian. Karena yang disebut ‘alim adalah orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui dan ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan ada suatu kaum yang membawa ilmu tidak melebihi kerongkongan mereka. Ilmu bertentangan dengan amal mereka. Batin mereka bertentangan dengan lahir mereka. Mereka duduk dalam halaqah untuk saling berdebat antara yang satu dengan yang lain. Hingga, ada seseorang yang marah kepada rekannya, lalu berpinadah dengan yang lain dan meninggalkan rekannya. Amalan mereka dalam majlis itu tidak bisa naik kepada Allah Ta’ala”

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, yang berkata, Rasulullah Saw bersabda
“Barangsiapa mempelajari ilmu yang mestinya untuk mencari ridha Allah Swt, tetapi ia hanya utuk mendapatkan kekayaan dunia, niscaya ia tidak mencium aroma surga pada hari kiamat.”

Kedua: Istiqamah dan Sabar
Belajar dari kegagalan (sementara) yang dialami para ikhwah yang telah mencoba menempuh perjuangan untuk belajar ilmu syar’i, rata-rata disebabkan tak kuat menahan kejenuhan dan kesulitan sebelum sampai di tujuan. Semangat belajar diawal tak banyak membantu seseorang untuk bisa sukses. Belajar dalam waktu lama membutuhkan sikap istiqamah dan kesabaran. Istiqamah dan kesabaran inilah yang banyak ditinggal oleh para ikhwah. Sebagian terlalu dini memvonis diri tak berbakat, tidak bisa, terlanjur tua atau alasan lain yang kental dengan keputusasaan dan nuansa pesimis. Silahkan kita memvonis tidak berbakat, jika kita telah berjuang segigih pakar bahasa Ibrahim al-Harabi ketika belajar bahasa arab. Seorang temannya bernama Abu al-Abbas berkata:
“Aku belum pernah mendapatkan Ibrahim al-Harabi absen di majelis nahwu atau kajian bahasa arab selama lima puluh tahun”.

Silahkan kita memvonis tidak berbakat jika memang pernah belajar secara intensif tanpa terputus selama lima puluh tahun, lalu tetap tidak mampu juga. Adapun, belajar satu atau dua tahun dengan intensitas yang kurang rutin, belum bisa dijadikan ukuran..

Kita mungkin sangat kenal dan akrab dengan kitab bulughul maram dan fathul bari, dua kitab ini tidak dipisahkan dengan pengarang yaitu Ibnu Hajar Al-Atsqalani. Dan apabila kita mengingat nama Ibnu Hajar maka akan teringat sebuah peristiwa yang akan menggugah sekaligus membakar semangat kita dalam menuntut ilmu.

Beliau adalah seorang penuntut ilmu, tetapi beliau tidak mampu (tidak kuat untuk melanjtkannnya). Maka, ia pun bertekad meniggalkannya. Lantas, ia berjalan melewati air yang menetes dari atas gunung menimpa sebuah batu besar yang sangat keras. Ternyata, air tersebut mampu melubangi batu itu. Maka, ia pun bergumam. “Air yang lembut ini saja mampu melubangi batu yang sangat keras, demi Allah, aku akan benar-benar menuntu ilmu lagi.” Lalu ia menuntut ilmu kembali dan berhasil mendapatkan (apa yang ia cari).

Orang-orang bijak mengatakan:  
“Barangsiapa yang tidak mau bersabar mengecap pahitnya menuntut ilmu, niscaya sisa usianya akan berada dalam buta kebodohan."

Ketiga : Menanamkan rasa khasyah dan menjauhi maksiat
Untuk menanamkan rasa khasyah ada beberapa hal yang harus dilakukan para ikhwah di samping amalan wajib, sautu hal meski kelihatan sederhana tapi mudah-mudahan apa bila dilakukan dengan istiqamah akan mendatangkan keberkahan.
1. Menjaga shalat berjama’ah
2. Membiasakan untuk shalat dhuha
3. Berusaha sekuatnya untuk qiyamul lail (minimal seminggu sekali)
4. Dzikir pagi dan petang
5. Puasa sunnah senin dan kamis

Keempat : Mengamalkan dan mengajarkannya
Di antara adab yang wajib dilakukan oleh seorang penuntut ilmu Syar’I adalah menyebarkan ilmu antara manusia, tidak menyembunyikannya dan tidak pula kikir dengan ilmu. Allah telah memperingatkan orang yang menutupi ilmu dan mengancamnya dengan siksaan.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,” (Qs. Al-Baqarah [2]: 159) 

Dhohak bin Muzahim berkata,
“pintu pertama dari ilmu adalah diam, yang kedua mendengarkan, yang ketiga mengamalkannya, yang keempat menyebarkan dan mengajarkannya.”

Abdulloh bin Mubarok berkata, “barang siapa yang bakhil dengan ilmunya, niscaya ia akan diuji dengan tiga hal; ia akan mati sehingga ilmunya akan hilang; atau ia akan lupa dengan ilmunya; atau ia akan mengekor kepada penguasa.

Kelima : Mengoptimalkan waktu
Waktu itu lebih mahal dari pada emas, karena waktu adalah kehidipan. Seorang penuntut ilmu tidak boleh menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bercanda dan bermain. Sebab, ia tidak akan bisa mengganti kesempatan yang telah berlalu dan kesempatan itu tidak akan mau menantinya. Begitu juga, barang siapa yang tidak memanfaatkan waktunya, niscaya penderitaannya akan terus berkepanjangan, sebagaimana orang yang sakit akan terus menderita menanti datangnya waktu sehat dan semangat.

Dari Abdullah bin ‘Abbas ra, ia berkata, “Rosulullah saw bersabda :
“ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu; nikmat sehat dan waktu luang.”

Maka, seorang muslim yang mendapatkan kedua nikmat ini sekaligus, yaitu tubuh yang sehat dan waktu yang luang, seyogyanya harus menunaikan hak keduanya yaitu bersyukur kapada Allah swt dengan menggunakan keduanya dalam ketaatan kepada-Nya dan mencari ridho-Nya. Bila ia menyia-nyiakan, brarti ialah orang yang tertipu. Artinya, ia akan mengalami kerugian yang besar. Sebab, masa sehat itu akan berakhir dengan sakit dan waktu luang akan berakhir dengan datangnya kesibukan, ibarat seorang pedagang yang mempunyai modal dan ingin memperoleh keuntungan.

Begitu juga, modal seorang muslim adalah kesehata dan waktu luang. Maka, ia tidak boleh menyia-nyiakan sedikitpun dari keduanya untuk sesuatu selain ketaatan kepada Allah yang merupakan perdagangan yang paling menguntungkan. Sebagian salaf mengatakan,
“Apabila datang kepadaku satu hari yang ilmuku tidak bertambah dihari itu sehingga mendekatkan diriku kepada Allah, berarti aku tidak mendapatkan berkah pada matahari yang terbit pada hari itu."[Tafaquhfiddin]

Sumber : http://almudarris.wordpress.com/2008/10/10/etika-menuntut-ilmu/

Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat dan bisa kita ambil hikmahnya... Amin
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...

Catatan :
Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar